Rabu, 12 November 2014

Hidup yang Tak Biasa

Kita bisa berbincang agak panjang sore itu. Dengan keletihan dan air mata yang tidak mampu disembunyikan. "Kenapa?", kau selalu saja bertanya pendek untuk mendengar lebih lama. Sementara aku sedang tak ingin bercerita apa-apa. Menggelengkan kepala, lantas kembali mengusap air mata.

Perlahan-lahan aku mengumpulkan kata, tanpa menatapmu. "Aku ingin menjalani hidup normal seperti yang lainnya", antara setengah kesal dan setengah lagi putus asa. Aku memulai percakapan juga.

"Normal itu yang seperti apa?", ini pertanyaan paling menyebalkan yang pernah aku dengar. Bagaimana mungkin kau tidak tahu bagaimana kebanyakan orang menjalani hidup? Mereka berjalan dengan ritme yang sama dan mudah dibaca.

"Berkumpul dengan pasangannya, tidak berjauhan. Bercakap-cakap setiap hari, bergandengan tangan di waktu santai, berpelukan melepas penat, menumpahkan kangen setiap saat, bahu membahu membesarkan anak-anak, dan banyak hal lagi", kalimat sepanjang itu bisa aku susun ketika terisak. Entahlah. Mungkin karena sudah lama sekali ingin dikatakan.

"Normal itu, tergantung siapa yang memandang. Bisa jadi beda ketika kita yang menyusun ulang pengertiannya. Kita akan hidup dengan cara yang berbeda. Percayalah, kita tengah meraup keberkahan di dalamnya. Berapa banyak kerelaan dari orang tua kita, doa-doa mereka dan belimpah kemudahan bagi kita menjalani semuanya. Tidak akan mudah, tapi beginilah cara yang akan kita tempuh. Kira-kira, begitulah pengertian normal menurut kita". Kau juga mengucapkan semua itu dengan berkaca-kaca. Tangan kita masih bergenggaman, ingin melewatkan senja di bandara dengan hati yang lebih dekat.