Jumat, 28 Juni 2013

Pemain ke Dua Belas


Pertandingan semifinal antara Indonesia dan Filipina membuat saya berfikir cukup lama. Bukan karena saya penggemar berat atau pengamat sepak bola. Toh baru akhir-akhir ini saya melihat pertandingan yang membuat saya sedikit mudeng alur ceritanya. Sebelumnya, saya sering dibuat pusing gara-gara mikir dan terheran-heran dengan orang-orang di lapangan hijau itu. Apa masalahnya, coba? Sampai membuat 22 orang harus berebut bola. Sampai-sampai harus ada wasit segala. Gawatnya, sampai bisa menyedot ribuan supporter fanatik yang berteriak-teriak di tepian.

Ditambah dengan membaca ulang buku lama (maksudnya, belinya sudah lama, tiga tahun yang lalu): Jika Perempuan Tidak Ada Dokter, berfikir saya semakin lama. Buku itu menceritakan masalah-masalah kesehatan perempuan yang sampai sekarang terus diupayakan untuk diperbaiki. Dari perkara perempuan dan pekerjaannya yang seringkali menjadi beban ganda, karena perempuan tetap melaksanakan tugas alamiahnya untuk hamil, melahirkan dan mengasuh anaknya. Tapi juga harus menanggung perekonomian keluarga. Sampai masalah kesehatan repoduksi untuk remaja.

Dengan sepak bola dan ‘Jika Perempuan Tidak Ada Dokter’, ingatan saya mendadak membaik ketika ingin saya pakai untuk merekam kejadian saat gawang Indonesia diamankan oleh Zulkifli dan Nasuha (ini namanya bener ndak ya?), yang sebenarnya bukan penjaga gawang. Kemudian, antara Zulkifli dan Nasuha yang mewakili sepak bola dan ‘Jika Perempuan Tidak Ada Dokter’ dipertemukan di kepala saya oleh sebuah kata yang terdiri dari lima huruf saja: p e r a n.

Apapun posisinya, semua pemain sepak bola mengusahakan dua hal: mencetak gol dan mengamankan gawang. Tidak peduli gelandang, penjaga gawang, penyerang atau pemain belakang. Pelatih juga sibuk memberikan arahan bagaimana mesti bermian yang baik. Bahkan, suporter yang sebenarnya tidak ada hak untuk menyentuh bola juga turut sibuk berteriak, melambaikan tangan, mengusung spanduk atau aksi-aksi yang lain. Seakan-akan mereka menjadi pemain ke dua belas.

Lalu, bagaimana dengan kesehatan perempuan (juga kesehatan secara umum)? Pertanyaan itu mungkin tidak sedahsyat pitakon kubur (baca: pertanyaan kubur). Tapi tetap saja mengerikan. Karena ternyata produk kesehatan masih seperti barang asongan (bisa lihat di note : http://www.facebook.com/note.php?note_id=245550982420). Para tenaga kesehatan seperti halnya para suporter sepak bola: menjadi pemain ke dua belas. Sibuk ’berteriak’ melarang, ’bersorak’ menyemangati, ’cerewet’ melarang ini-itu, menjelaskan tetek-bengek yang belum tentu dipahami. Padahal para pemain duduk-duduk saja di tengah lapangan. Bersantai melihat segala sesuatu merongrong kesehatannya secara cepat atau perlahan. Kalaupun ada yang menendang, sama sekali tak terarah. Sembarangan. Sedikit yang tepat sasaran.

Boleh jadi, saya dianggap terlalu berlebihan. Karena di sana-sini sudah muncul data berupa angka, yang menjelaskan bahwa semuanya sudah lebih baik. Tapi tetap saja saya masih risau ketika saya hanya bisa menjadi pemain ke dua belas. Berperan menjadi orang cerewet yang gaduh di tepian. Mari melihat contoh nyatanya. Berapa banyak ibu-ibu di Rumah Sakit Umum Daerah yang sehabis menjalani operasi sectio saecaria yang menolak makan makanan tinggi protein seperti telur atau ikan? Nasihat makan makanan yang bergizi kalah telak dengan anggapannya, bahwa seseorang yang punya luka akan bertambah parah dengah makan telur atau ikan. Mereka malah berpuasa makan enak. Tidak jarang yang hanya makan nasi dengan kuah yang dibubuhi garam saja.

Ah, mungkin saya terlalu rindu kenaikan pangkat saya. Dari pemain ke dua belas menjadi pelatih. Yang jika berbisik saja sudah dipatuhi. Karena para pemain sungguh paham benar, bahwa yang dikatakan pelatih adalah untuk kemenangan.

Desember, 2010
curhat dong.. heehe
inget akhir tahun tahu. ketika saya deg-degan kepingin lihat Indonesia Seaht 2010. eh, malah ada yang ketawa, terus bilang, "Itu 2010 Hijriyyah, bukan 2010 Masehi.."
duh, duh, duh.. saya mengaduh. alah, malah bikin gaduh.

*kalo baca ini lagi, kok saya merasa imut banget ya.hahahaha

Rahasia


Senja ini saya terbangun dengan kepala yang masih pening. Memang siang tadi saya beristirahat karena merasa tubuh memang tengah membutuhkan rehat. Mungkin karena lama sekali saya tidak menuliskan sesuatu. Atau menumpahkan kisah yang terlalu penuh dalam ingatan. Ah, memang semua kisah itu tidak untuk saya bagi saat ini. Banyak hal telah melatih saya menyembunyikan, merahasiakan, menutupi, atau apalah itu.

Sayangnya, seringkali saya seperti selembar daun yang tak sanggup menampung lelehan embun. Pasti ada yang harus saya tumpahkan. Ada juga yang tumpah dengan sendirinya. Maka, akan saya tumpahkan saja pada samudera yang sejak lama menjadi tempat awan menenggak banyak air. Biar menjadi hujan. Biar menjelma menjadi hijau yang menghampar.

Samudera itu, biarlah menenggelamkan saya di kedalaman yang tak pernah saya tahu dasarnya. Di luas yang tak pernah saya tahu tepinya. Saya hanya yakin saja, di sana hanya ada cinta dalam berbagai rupa. Rupa pantulan matahari, rupa bayangan purnama, rupa lembayung ketika pagi dan senja, rupa mutiara, rupa karang. Bahkan mungkin ada rupa surga, tempat aku bisa melepas rindu padaMu.

Kendal, 1 April 2011

Negeri Kupu-kupu

akan aku kabarkan di hari depan, bahwa aku tinggal di negeri kupu-kupu. di kebun, di dinding rumah, di pelataran, di jalan. semua ada kupu-kupu. bahkan mungkin, di udara yang kami hirup terbuat dari kupu-kupu.

itulah yang akan aku ceritakan. kalian pasti akan terheran-heran dan mengagumi, betapa negeriku indah luar biasa.

tapi, mengertikah kalian, bahwa negeri kupu-kupu itu mungkin butuh waktu untuk mewujudkannya. untuk sekarang, aku baru sampai pada ulat. dan selanjutnya kepompong.

jadi, saat ini beginilah negeriku mesti bertahan sebagai negeri ulat. di kebun, di dinding-dinding rumah, di pelataran. semuanya ulat.

bisakah kalian bersabar menunggu cerita negeri kupu-kupu ku?

Dalam Hari

Jika angin tengah kencang-kencangnya, berarti bukan waktu yang baik untuk melihat rawa-rawa yang kita kagumi sepanjang malam purnama. Air di sana tengah riuh bergerak, menuruti arah angin pergi. Bertabrakan satu sama lain, pecah, bergerak lagi, pecah, bergerak lagi.

Tapi bukan berarti kita harus bersedih. Ini hanyalah hari yang dipenuhi angin kencang  dari pagi sampai senjanya. Dan esok, mungkin akan berbeda. Kita akan bertemu dengan suasana lain. Entah hari yang hujan, hari yang terik, hari yang tenang, hari yang penuh kupu-kupu atau wujud hari yang lain.

Memang kita tidak harus bersedih. Karena ini hanyalah hari yang selayaknya kita jalani dengan baik. Yang sedih akan terlupa. Yang bahagia akan berlalu. Semuanya bergantian, menyambut kita. Mesra.

Kita hanya perlu terjaga. Untuk melupakan atau mengingat sekadarnya.

Kenangan Mengaji Seorang Santri

Semakin bertambah tahun, semakin banyak paksaan, ”Ayo datang khotaman!” Alasannya, 5 kali khotaman saya tidak kelihatan. Saya berkelit, ”Solo-Kendal cukup jauh, tidak mudah mengantongi ijin dari rumah”. Biarpun sudah hampir 6 tahun terlewatkan, rasanya baru kemarin, ketika hiruk pikuk persiapan khotaman di depan mata. Sebagian besar santri disibukkan dengan semaan. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an semarak sekali, baik di pondok putra ataupun pondok putri.

Saya terlibat dan menyaksikan ritual itu sejak usia 11 sampai 17 tahun. Ritual sebagai peringatan pungkasan dari sedemikian panjang proses mengaji. Kenangan saat saya mengaji banyak. Tidak cukup semalaman untuk menceritakan. Jadi, anggap saja ini sebagai ringkasan.

Kali pertama saya mengaji, mungkin prosesnya biasa saja. Dimana santri mulai dibenahi makhorijul huruf dan tajwidnya. Masalah klasik bagi para pemula berupa makhorijul huruf dan tajwid yang masih belepotan. Susah membedakan kedalaman ha, kha, kho. Terbalik membunyikan sho, sin, syin. Masih kebingungan kapan dibaca jelas, berdengung atau memanjangkan beberapa alif. Biasanya guru kami melakukannya dengan menahan kami di surat Al-Fatihah sampai sekian lama, sampai sekiranya makhorijul huruf dan tajwid kami tidak terlalu berantakan. Baru bacaan kami melanjut ke surat An-Naas. Untuk tingkat Juz ’Amma, kami diwajibkan menghafal. Sedangkan tingkat Bin-Nadhor, kami cukup membaca Al-Qur’an dengan tartil. Namanya juga Bin-Nadhor, yang punya arti dengan melihat. Khusus untuk Bil-Ghoib, bagi beliau-beliau yang siap menjadi penghafal Al-Qur’an.

Ternyata, proses yang saya anggap biasa terasa ada yang istimewa ketika diberi amanah beberapa adik untuk mengaji di tingkat Juz ’Amma. Mungkin ibarat seorang perempuan yang merasa ibunya teramat sangat istimewa ketika dia mempunyai anak. Istimewa karena kesabaran diuji. Kesabaran menghadapi adik-adik dengan bawaan masing-masing. Semuanya beragam. Dari yang cukup memoles sedikit, sampai yang benar-benar harus ngoyo membenahi bacaannya. Dari yang cepat bisa sampai yang luar biasa susah untuk bisa. Dari yang nurut sampai yang ngeyel. Dari urusan ngaji sampai urusan masalah pribadi.

Saya yang saat itu masih menempuh pendidikan di SMA, tentu berbeda dengan mbak-mbak pengurus yang sudah kuliah. Selain usia yang masih muda dengan kondisi psikologis yang belum matang, kendala yang terasa adalah jadwal ngaji ba’da shubuh. Banyak adik-adik yang bangun kesiangan, yang membuat saya menunggu lebih lama, sehingga terkadang waktu ngaji mepet dengan waktu berangkat sekolah. Belum lagi saat guru ngaji Juz ’Amma banyak yang berhalangan. Jika sudah demikian, akan berbuntut keterlambatan saya ke sekolah, yang akan berurusan panjang dengan polisi sekolah. Ditilang! Malasnya....
Kedua teman saya yang bernasib sama, masih cukup mujur. Mereka di Madrasah Aliyah, yang tidak ada polisinya.
(pak Umam, piz.. hehe. Bagaimanapun juga, polisi sekolah seperti Pak Umam sangatlah penting, mengingat ada murid-murid semacam saya ini. Terimakasih atas disiplinnya yang bukan sekedar kata, pak..).

Akhirnya saya harus membangunkan mereka tiap shubuh, mendatangi satu persatu ke kamar masing-masing. Dan tentu saja saya sendiri harus sudah mandi sebelum shubuh, karena setelah selesai mengaji tidak ada waktu untuk mandi. Dengan demikian, keadaan membaik.

Ada lagi ketika absen mengaji saya yang sangat minimal dipertanyakan oleh wali kelas. Kadang Cuma seminggu sekali, paling banyak seminggu 6 kali. Padahal, waktu ngaji dalam seminggu ada 11 kali. Yah, gimana lagi? Niat ngaji tetap ada, tapi setiap sepulang bersama adik-adik, para guru Bin-Nadhor sudah pulang karena murid-muridnya selesai mengaji dan bubar. Alasan yang cukup bisa diterima, yang berakhir pemakluman.

Berganti perkara saat menjelang ujian akhir nasional. Standar kelulusan yang dinaikkan dari 3,01 di tahun sebelumnya menjadi 4,01 membuat jadwal di sekolah pagi semakin padat. Karena jam pelajaran dirasa kurang, merambahlah jadwal sampai malam, sampai jam 22.00. Waktu yang terlalu larut untuk berada di kelas.

Energi saya terkuras. Jadwal saya semakin tak waras. Masuk jam 06.30, pulang jam 13.30, masuk sekolah Diniyyah jam 14.00 sampai jam 16.30, ba’da magrib full, ba’da Isya masuk kelas lagi sampai jam 22.00, pulang dengan membawa PR, belum lagi menyiapkan waktu untuk menyimak secara khusus hafalan beberapa adik saya yang akan khotaman Juz ’Amma. Berakhir minimal jam sebelas malam. Esoknya, berlanjut ke ritual pagi dari sebelum shubuh.

Saya semakin jarang mengaji dan penyakit ngantuk saya semakin menjadi. Tidur di jam pelajaran Sejarah, yang saya pikir saya terlalu banyak dibohongi. Atau di jam pelajaran fisika, yang konsentrasi saya sudah tidak cukup untuk menghadapi rumus-rumusnya. Atau jam Bahasa Indonesia yang melulu dijejali pelajaran imbuhan dan sejenisinya, yang membuat saya bosan sebelum bisa. Cukup jam Kimia, Biologi dan Matematika membuat santai, saya tidak punya alasan untuk ngantuk. Apalagi guru-guru kami di bidang ini sering mengajak berTuhan secara sadar. Menyenangkan sekali pelajaran yang diawali dengan diajak bersyukur, di tengahnya diingatkan banyak hal, dan diakhiri dengan membahas ”Demi masa”.

Semakin terasa saja perjalanan guru ngaji saya, karena beliau juga mengajar saat masih SMA. Semuanya berjalan begitu saja atas pengaturanNya. Toh dulu saya berdoa, ”ya Allah, dimanapun saya berada, ijinkan saya untuk mengabdi”. Barangkali pengabdian itu ada di antara keseharian yang menurut saya tak waras, karena saya mengira tak cukup tenaga untuk menjalaninya. Atas izinNya, semua jadi bisa saja..

Kenangan lain yang membekas adalah beberapa teman sering mengirim ayat-ayat. Terkadang isyarat-isyarat dalam sobekan kertas.

”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan”.

”Sesungguhnya Al-Qur’an adalah kitab yang mulia”.

”Itu adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Kata ”petunjuk” menarik saya semakin kuat ingin segera mengerti apa yang ada di Al-Qur’an. Sampai suatu saat saya di ingatkan “Janganlah kamu tergesa-gesa dalam membacanya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami untuk mengumpulkan di dadamu”.

Kemudian saya berdoa. Do’a yang tiap kali khotaman dilantunkan dengan indah
“nawwir yaa Rahman, nawwir quluubanaa bi nuuril Qur’an”



Menjelang khotaman- 18 Maret, 2010
Ayo sekolah nyang Madrasah Al-Qur’an, podho ngaji Qur’an ana Mangkuyudan
- Kiai Ahmad Umar -


*bongkar-bongkar tulisan tahun 2010, ditulis ketika saya benar-benar kangen dengan suasana pesantren. setelah dibaca kembali, rasanya lucu.hehe. 

Selamat Malam, Dik


Selamat malam, Dik. Enam belas tahun yang lalu, aku diminta ibu menungguimu, bahkan ketika kau terlelap. Malam baru sampai pada awalnya, tapi kau sudah kelelahan. Mungkin karena sedari siang kau melangkah terlampau banyak, tertawa terlalu keras dan berjingkrak teramat sering.

Malam itu, nyamuk tak berani mengganggu kita. Ibu sudah memasangkan kelambu. Suara kodok yang biasanya ribut selepas hujan deras, kini senyap. Aku merasakan malam itu singkat. Sesingkat jarak antara firasat dan kejadian sesungguhnya. Dan aku tak mau membuang waktu. Kupeluk kau erat-erat, kutatap lekat-lekat. Aku tahu ini kehilangan, tapi kehilangan apa? Bukankah kau bukan milikku?

Selamat malam, Dik. Sekarang dua puluh empat tahun usiaku. Tentang usiamu, entah. Aku tak lagi ingin menghitung. Bukan apa-apa. Sebatas mengusir pengandaianku, betapa saat ini dirimu sudah dewasa.

Selamat malam, Dik. Semoga mimpi indah. Kami disini percaya, Tuhan-lah pengasuh terbaik.



Semarang, Oktober 2011

Sabtu, 08 Juni 2013

Surat dari Bulan Juni

Semoga keselamatan, rahmat dan berkah dari Allah terlimpah padamu.

Tiba-tiba saja, aku ingin mengucapkan salam padamu dengan bahasa yang kita mengerti. Menghayati dan mengaminka sebuah doa dengan sungguh.

Salam, doa keselamatan, memang sangat mesra jika kita ucapkan sejak awal bertemu. Apalagi yang diharapkan pertama kali selain keselamatan? Seperti yang kau tahu, dunia di luar sana tengah hiruk pikuk. Bertengkar atas segala sesuatu, berebut, bersitegang, bahkan saling menghantam. Yang mengaku pemimpin melupakan apa yang diamanahkan, yang mengaku rakyat lupa apa yang semsetinya dilakukan. Ada masanya kita menjadi sangat tidak mengerti atas segalanya. Maka doa keselamatan untukmu yang aku panjatkan. Agar kau tetap dijaga dari hingar bingar, yang akan mengeruhkan embun di jiwamu. Agar kau tetap selamat, dunia dan akhirat.

Di antara semua keributan itu, semoga kau tetap menjadi barisan dari mereka yang bertindak. Mengerjakan banyak hal yang membangun sambil terus menyusun cita-cita yang bertumbuh. Semakin waktu berjalan, semakin besar dan luas jangkauan cita-citamu. Apalagi yang diharapkan dari seseorang yang baik, jika tidak menggerakkan kebaikan bagi sekitarnya; bagi kita, bagi keluarga, bagi saudara dan bagi umat.

Mungkin akan melelahkan ketika dirimu kau kerahkan penuh. Tapi tidak perlu cemas, kita akan menyusun tempat-tempat untuk sekedar menghela nafas yang terengah atau merehatkan langkah yang jenuh. Mari bercerita tentang jalan-jalan yang sudah dilampaui, syukur yang semestinya dipanjatkan dan doa-doa sunyi yang kita simpan rapat sebelumnya. Atau percakapan ringan tentang bagaimana kau belajar naik sepeda semasa kecil sepertinya menyenangkan.

Kemudian kita akan melangkah kembali dengan semangat yang seakan tidak akan surut. Kita kalahkan pagi yang menggigil, kita jinakkan jalan-jalan berkerikil. Dan yang terpenting, kita taklukkan segala kemalasan dan alasan yang sempat mengerdilkan. Terdengar heroik dan menyenangkan, bukan?

Mari aku sambut tanganmu. Kita melangkah kembali.

Salam kangen dariku yang sering kau puisikan,
Bulan Juni