Sabtu, 18 Januari 2014

Merawat Kenangan

Rumah tua yang sepi, penghujan dan kenangan. Kami kemas semuanya dalam sebuah ziarah yang dilakukan diam-diam. Mengunjungi relung yang sebenarnya tidak pernah kami tinggalkan, tapi tiba-tiba saja menjelma sunyi. Percakapannya telah tergantikan riuh kesibukan yang sebenarnya membuat semakin menggigil. Kemudian kami mencari-cari kalimat yang dapat mencairkan gumpalan rindu.

Dulu, ada bunga jambu luruh. Ada percakapan akrab, hangatnya udara di sekitar tungku dan bau kopi. Wangi. Kau yang merangkul hati kami dengan tangan yang sampai sekarang masih terasa kasihnya. Jika kami laron, mungkin kau adalah cahaya kecil yang membuat kami rela berdesakan, menjadi sebuah pusaran. Jam tua yang bunyinya semakin usang tidak mampu mengingatkan kami bahwa akan ada masanya semuanya menjadi surut.

Pusaran itu perlahan terurai. Satu per satu pergi, menempuh jalan masing-masing. Bekerja, berkeluarga, mempunyai beberapa anak, sesekali mengunjungi dengan rindu yang mendesak-desak. Pergantian peran itu sudah semestinya terjadi. Yang tadinya anak, kini menjadi bapak dan ibu yang mempunyai anak juga. Tapi kau adalah cinta pertama kami. Semakin jauh perjalanan, semakin kami mengerti bahwa ada sebuah bilik di dalam hati yang penghuninya hanya dirimu. Hanya ada kau.

Mungkin karena itulah bapak tak juga beranjak dari sana. Menyempatkan satu atau dua jamnya dihabiskan di bangku tua itu, di rumah tua yang sering kami kunjungi diam-diam dalam ingatan. Mengganti lampu-lampu yang meredup, merawat kehangatan yang pernah ada di sini. Sendirian.