Rabu, 24 Oktober 2012

Menerawang

Malam ini saya melakukan yang saya inginkan, bukan yang harus saya lakukan. Walaupun hanya seputar hal-hal membosankan menurut orang lain.
Sekeras apapun saya berusaha meyakinkan orang lain untuk mengerti apa yang saya suka, mungkin akan percuma saja. Saya masih saja merasa senang ketika menikmati lagu-lagu lama, musikalisasi puisi (yang kebanyakan orang akan berkomentar bahwa yang saya dengarkan teramat aneh) dan menulis apa saja (kecuali menulis tesis dan riview article. Saya sedang malas berfikir :D )

Inilah yang ingin saya tuliskan;

Rasanya ingin menjadi selembar daun, melayang dan jatuh, tanpa berfikir mengapa saya harus terbawa dan terhempas. Angin yang tak pernah berkata apa-apa, cuaca yang berlalu begitu saja dan pergantian siang malam yang datar. Saya akan terombang-ambing entah seperti apa. Mungkin seperti pengembara yang terjebak di tengah gurun yang luas. Tapi saya tidak akan tersesat. Pasti tidak akan tersesat. Karena saya pergi bersama angin yang mengantarkan pesan dari Tuhan, menuruni lembah, mengitari lautan, menempuh daratan. Kebingungan yang saya risaukan akan terhempas oleh suara petir, ketika dua awan berjodoh untuk bertabrakan. Perasaan terombang-ambing akan lenyap dan tidak akan kembali hinggap.  

Kemudian ketika jatuh, saya menjadi hadiah bagi tanah yang selalu bersabar atas apa saja yang menimpanya. Ribuan tahun dia tertimpa hujan, tersengat terik, diludahi, menjadi tempat pembuangan, sampai menjadi penampung kotoran manusia. Saya akan berbahagia menjadi hadiah bagi bumi yang setulus itu. Bahkan dia telah menjernihkan air yang keruh, mengurai banyak hal yang menjijikkan dan menumbuhkan biji yang terbuang, atas sekehendak Tuhan.

Di kemudian hari nanti, wujud saya yang sudah lenyap dan menjadi bagian penting dari tanah, akan mengasuh sebentuk biji yang berkecambah. Membiarkannya tumbuh dengan pengharapan, dalam asuhan cahaya. 

Dan akhir ceritanya, saya tidak lagi tahu menjadi apa. Saya menelusup dalam segenap sel tetumbuhan, hewan dan manusia. Entah disebut apa. Barangkali tanpa nama saja.




Jumat, 12 Oktober 2012

Selamat Siang, Jumat

Selamat siang, Jumat.. Selamat bekerja.

Kau tentu tahu, merawat mereka bertumbuh dalam pengetahuan sungguh mendebarkan. Kita tidak hanya memberikan beberapa suap berita untuk mereka, tapi juga doa dan pengharapan bahwa di masa depan nanti, mereka akan menjadi seseorang yang tinggi pekertinya, rendah hati dan mengagumkan cara berfikirnya.

Selamat siang, Jumat.. Selamat belajar.

Akan kita tempuh segenap perjalanan menuju ilmu pengetahuan, berharap semakin teguh bahwa Tuhan sebaik-sebaik pujaan. Juga semakin yakin bahwa tidak ada yang terjadi di semesta dengan kebetulan. Semua aturan sudah sedemikian rapi. Bahkan sampai seberapa banyak sel yang akan mati hari ini.

Selamat siang, Jumat..
Hari ini mengagumkan, bukan? Maka akan kita sampaikan lagi segenap pujian pada Tuhan dan shalawat bagi Rasul Muhammad.
Tanpa bosan.

Kamis, 04 Oktober 2012

Selamat Pagi, Jumat

Selamat pagi, Jumat..
setelah malammu yang terguyur hujan, berjuta tunas bersiap tumbuh. Mereka akn meretas jalan yang saling berpilin, mungkin. Terkait satu sama lain, terhubung.

Dan hatiku juga basah, Jumat. Sempat mengeluh, tapi kemudian menyesal sangat. Pada Tuhan pun, sungguh kita tak pantas mengeluh, bukan? Karena dunia ini bukan hanya sebagai tempat sebab akibat. Ada sesuatu yang mutlak, tak bisa di tolak. Sekeras apapun kita berupaya. Mengeluhkannya, sama artinya mengeluh akan ketentuan Tuhan.

Maka,mari nyalakan lentera itu, Jumat.. Agar kita tak lagi gelap.

Jumat, 07 September 2012

Menemukan Jalan

Nasib adalah kesunyian bagi masing-masing. Ada rute-rute khusus yang harus dilalui. Dan jalan kita, pastilah berbeda. entah itu jenis perjalanannya, likunya, letihnya, luka-lukanya dan bahagianya.

Aku mungkin akan merasa cukup untuk berbahagia dengan menjalani takdir. Sungguh, pena-pena telah diangkat dan tinta telah mengering. Tidak ada yang perlu membuat kita begitu membenci hidup, walaupun terkadang aku sendiri membutuhkan ruang tersembunyi untuk menangis. Rasa-rasanya akan melegakan.

Karena inilah kita, makhluk kecil yang dijanjikan untuk berusaha. Hasil pun penting, tapi bukan menjadi sesuatu yang membuatmu enggan untuk melangkah.

Bagaimana dengan jalanmu? Apakah kau masih bersabar jika suatu saat menjadi terjal? Apakah kau masih setia pada kebaikan yang diajarkan Baginda Rasul (semoga sholawat dan salam terlimpah atasnya, keluarganya dan pengikutnya)?

Apapun itu, semoga kita segera mendapatkan kepulihan setelah sakit yang berkepanjangan.
Di jalan itu, semoga kita punya seribu hati yang menyala.

Senin, 13 Agustus 2012

Pulang Kampung

Selamat berlibur. Selamat menemui orang-orang tercinta yang selama ini sangat ingin kita temui. Selamat merayakan rindu. Semoga banyak keberkahan terlimpah di dalamnya.

Keberkahan yang bermula dari relanya orang tua kita, saudara-saudara dan sanak kerabat yang lain.

Kita yang percaya bahwa segala kebaikan akan ada muaranya, tapi tidak pernah lelah berputar memenuhi suatu siklus, seperti air. Maka, ada berapa banyak yang akan turut dalam sebuah siklus jalinan kasih sayang.

Selamat merayakan cinta. Semoga kita bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik.

Dan sekarang, saatnya pulang kampung.

Kamis, 02 Agustus 2012

Menunggu Kepulangan

Mendoakan siapa saja yang tengah menempuh perjalanan menuju rumah yang sangat dirindukan. Semoga selalu dalam keselamatan dan tertunaikan apa yang tengah membuncah di dalam hati.

Yang tadinya saling membaca jarak, semoga menjadi dekat tanpa jarak. Yang tadinya merasa tak terlalu peduli atas keberadaannya, semoga mengerti bahwa ketika jauh ada rindu yang diam-diam menggumpal semakin besar. Kemudian sadar, bahwa setiap kehadiran tidak tergantikan.

Dan untuk kau, yang tengah menanti detik-detik perjalanan itu, seribu doa bersamamu.

Kamis, 21 Juni 2012

Ruang Rahasia

Sampai dimanakah perjalanan ini dalam keadaan malam? Rahasia berjejal dalam ruang tak berbatas. Pertanyaan buntu pada lorong tak berujung. Dan aku mulai merasa bersedih dengan perasaan beku, membiarkan apa-apa yang berlalu.

Padahal hidup ini harusnya bukan hanya sekedar pertanyaan, namun pernyataan pada Tuhan, bahwa kita rela atas segala.

Jumat, 15 Juni 2012

Menulis Bagi Saya

Ada banyak alasan kenapa menulis. Tiap orang yang menulis pasti punya maksud dan tujuan tersendiri dari apa yang dia tulis.

Ada yang menulis karena kebutuhan, mungkin karena kapasitas intelektual yang dipunyai selalu meluap dan akan sia-sia jika tidak dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Ada yang dengan idealismenya ingin membumikan kebaikan, ada yang menggunakan istilah lebih implisit lagi; untuk berdakwah. Dan ada yang ingin eksis dengan tulisannya.

Lantas saya ada di mana, di antara sekian alasan itu? Entahlah. Menulis bagi saya seperti menyarikan dari segenap kesungguhan. Apapun jenis tulisannya. Jika puisi, berarti kesungguhan atas apa yang menguasai rasa, dari apa yang ada di diri, orang terdekat, lingkungan, atau mungkin yang agak muluk-muluk adalah negara dan dunia.

Mengapa Puisi?
Jika dilihat dari profesi saya, banyak yang bertanya (tapi saya tangkap sekaligus sebagai komentar). mengapa harus puisi? Bukankah akan jauh lebih bermanfaat jika tulisan saya lebih mudah dipahami oleh pembaca dengan kata-kata yang lugas?

Bagi saya, menulis juga merupakan perjalanan. Di puisi lah perjalanan saya dimulai. Kalau mau agak kejam, saya akan menyalahkan paman-paman saya yang dengan teganya meracuni saya. Dari usia ketika anak-anak lebih menyukai dongeng, saya lebih menyukai puisi. Saya tetap menyukai dongeng, walaupun interpretasinya seperti yang sudah-sudah dan cerita akhirnya dapat ditebak.

Ya, menulis adalah perjalanan. Pada puisilah tulisan saya bermula dan dibaca banyak orang (bagus atau tidaknya, bukan jaminan sih :D ). Kemudian saya menikmatinya. Menikmati puisi sebagai kristal yang padat, benar-benar padat untuk mewakili hati saya yang membuncah bahagia, kosong atau terpuruk sedih.

Walau begitu, seperti halnya perjalanan, bahwa kita tengah berjalan untuk suatu alasan dan tentunya berkelanjutan, saya ingin berlanjut pada langkah yang lain. Menulis jenis tulisan yang lain. Saya akan ke sana.

Jadi, mari belajar menulis lagi.

Jumat, 08 Juni 2012

Perjalanan

Dunia terlalu hiruk pikuk. Maka kita membutuhkan malam yang hibernal, menyemai rindu dalam ingatan yang susah payah kita pertiahankan; tentang Tuhan.

Seperti akan kekal dalam rahasia, saya mengadu tentang apa saja. Dari hal remeh temeh, tentang kasur angin saya yang tiba-tiba menjadi tidak berguna, sampai bertanya tentang sesuatu yang penting; Tuhan, dimanakah perjalanan ini akan bermuara, menggenapkan cinta yang Kau beri.

Dan seperti inilah kita akan melanjutkan perjalanan, dalam dunia yang hiruk pikuk namun di jalan yang sepi.

Senin, 04 Juni 2012

Resonansi

Sekitar empat tahun yang lalu, ketika percakapan ini terjadi. Saya berumur 21 tahun dan baru saja merasakan bagaimana atmosfer kesehatan yang sebenarnya.

Rumah sakit bukanlah tempat nyaman. Bangsal yang terkesan tua, berdesakan, kumuh dan apek. Namun, kami masih saja merasa bisa membicarakan masa depan. Seperti tahu segalanya, ingin menaklukkan dunia. Padahal, kami tidak punya apa-apa.

Masa depan yang kami bicarakan pun cukup muluk-muluk. Terutama saya. Sangat berlebihan dan tidak mempertimbangkan keadaan. "Saya ingin menjadi bagian dari orang-orang Kedokteran Komunitas. Karena pengobatan harusnya bukan menjadi pusat perhatian kita, tapi harus memperhatikan pencegahan", dengan yakin saya seperti berorasi (walaupun jika ditanya apa rencana saya untuk itu, saya tidak punya satu pun jawaban. Ini lebih tepat disebut sebagai keinginan orang yang sedang kesumat, bukan cita-cita yang matang dan bisa dipertanggungjawabkan :D )

"Di Eropa sana, pencegahan sudah sampai tingkat genetik. Sudah kuno kalau kamu mau mengkampanyekan menjaga kebersihan". Teman saya yang satu ini memang tipikal orang yang memotivasi temannya dengan cara lain. Dalam hati saya berbisik, saya ingin dan saya akan jadi bagian dari barisan itu.

Empat tahun kemudian, kurang lebihnya tahun ini, saya sekolah di Konseling Genetik. Entah ini jawaban dari masa lalu, ataukah masa lalu itu menjadi pertanda dari keadaan saat ini, saya tidak paham. Semuanya seperti benang yang saling mengkait. Seperti pecahan teka-teki yang berserak. Dan saya, terbawa saja tanpa menemukan dan ingat kejadian empat tahun yang lalu. Sampai suatu saat seorang teman bercerita tentang sahabatnya, bagaimana kisahnya hingga mantap memilih sekolah di sini.

Jujur, saya malu. Sangat malu. Saya merasa sangat tidak bersyukur dan menyia-nyiakan kesempatan. Jika ada orang lain yang dengan usaha keras sekolah di sini karena suatu kejadian menyedihkan yang mendatangkan pelajaran dan tekad, saya serta merta (dengan sembarangan) menyebut bahwa diri saya 'kesasar'. Kesannya, saya tidak punya motivasi dan niatan yang baik, hanya menjalani rutinitas yang seharusnya saya lakukan.

Bukankah saya cukup melihat pengalaman orang lain yang menyedihkan, kemudian menjadikaanya sebagai sebaik-baik pelajaran? Bukankah saya harus lebih banyak bersyukur atas kesempatan yang cukup dibayar dengan kesungguhan? 

Dan saya pikir, saya akan jauh lebih malu lagi jika tidak segera merubah niat saya, mengalamatkan pada sesuatu yang lebih baik (minimal, tidak merubahnya menjadi niat jahat.hehehe).

Semoga, esok hari lebih baik. Semoga, jawaban-jawaban baik segera saya temukan untuk memperbaiki semuanya. Semoga, saya tidak memalukan (terutama memalukan bagi diri saya sendiri).

Selasa, 29 Mei 2012

Apa Kata Jantung

Jantung, yang semua detakan berhulu dari sana, memanggil saya untuk tertarik padanya. Bukan lantaran hantaran listrik atau degupannya. Justru pada sesuatu yang terlihat agak jauh, tapi sangat vital untuk nyawanya.

Akan melelahkan(saking lelahnya, seharian ini saya iseng nulis-nulis dengan tema 'bebas' :D ). Karena mencari penelitian yang sejenis memang masih jarang. Padahal tema ini sudah merebak dimana-mana. Kolesterol, LDL HDL. Di televisi juga sudah di dengung-dengungkan. Tapi kenapa jurnal yang saya temukan masih belum ada 20? #jangan-jangan, karena saya maunya jurnal gratisan. isi kantong belum memadai untuk langganan jurnal berbayar.hehehe

HDL itu seperti ibu, memang. Dengan rajin mengambili kolesterol yang berkeliaran untuk di bawa ke liver (hepar) dan jaringan pembuat hormon, untuk diolah menjadi menjadi berbagai produk. Contohnya cairan empedu dan beberap hormon steroid, seperti esterogen, progesteron dan testosteron. Proses pengambilan kolesterol yang berkeliaran tadi bukan satu-satunya kebaikan yang dipunyai HDL untuk merawat jantung agar terus berdetak. Dia menghambat reaksi peradangan (inflamasi) di pembuluh darah yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah. Dia juga bersifat antioxidan, yang tujuannya mencegah penyumbatan pembuluh darah juga.

Pertanyaannya, yang diurusi HDL kan pembuluh darah? Lalu apa hubungannya dengan jantung?

Nah, mari kita ingat kembali bahwa jantung terdiri dari sel-sel otot jantung yang butuh makan untuk bisa melaksanakan fungsinya. Makanan tadi disalurkan lewat pembuluh darah jantung. Perlu kita ingat juga, bahwa pembuluh darah jantung itu punya diameter ynag kecil. Sekalinya tersumbat, aliran darahnya akan berhenti, otot jantung akan kekurangan makan, dan sampai pada kelelahan yang membuatnya tidak mampu berdetak. Itulah penyebab kebanyakan mati mendadak. Jantung tidak bisa mentoleransi kekurangan makanan dalam waktu lama.

Kenapa harus tertarik pada HDL?

Omong punya omong, tren pengobatan terkini dari penyakit jantung dan pembuluh darah adalah dengan memodulasi kadar HDL dalam darah. Semakin tinggi kadar HDL, akan memberikan efek yang baik. Dan ternyata.... tingginya kadar HDL tadi tidak hanya menolong jantung. Otak juga butuh peran penting HDL. Salah satunya untuk mencegah terjadinya demensia dan Alzeimer.

Jadi, memang panggilannya sudah kuat sekali. Semoga bermanfaat untuk sebanyak-banyak umat manusia untuk sehat. Sehat dalam pengertian sebenarnya; sehat jasmani, sehat rohani, sehat fungsi (dalam artian, produktif).

Memilih Masa

Selamat Siang, semuanya..

Seperti usia saya yang semakin siang, ada banyak pilihan yang tentunya telah dijalani. Apapun itu, saya masih ingin menulis prosa-prosa pendek dan puisi. Entah akan jadi apa nantinya.

Seperti entahnya saya yang tiba-tiba menjalani hidup sebagai dokter, pengajar di sebuah kampus dan sekaligus mahasiswa di kampus lain. Menyenangkan sekali bisa belajar, apalagi tanpa beban finansial yang kebanyakan membebani anak bangsa ini untuk melanjutkan sekolah.

Bukan bermaksud menyia-nyiakan diri dengan kata 'entah'. Ini hanya sebagai ungkapan bahwa saya sesungguhnya masih hilang dalam pusaran. Walaupun teman-teman saya mengatakan, bahwa saya sudah menemukan diri saya sejak jauh-jauh hari. Bahkan sejak teman-teman seumuran saya masih bertanya apa itu jati diri.

Lantas apa yang hilang?

Sesungguhnya, saya masih hilang. Diri saya yang lain entah ada di belahan dunia yang mana. Padahal sudah jauh-jauh hari saya menyiapkan diri untuk mencintainya dalam bingkai ikatan yang Tuhan berkahi. Ingin rasanya melayaninya dengan cinta yang saya punya. Kemudian melahirkan anak-anak darinya, juga mendidik mereka dengan tangan saya.

Mungkin saya belum mampu untuk itu. Sehingga saya harus mempersiapkan diri kembali. Sambil menantinya memilih masa, dimana dia akan datang dengan segenap pesona, juga cinta.

Satu Garis

Dalam satu garis kita merenungi, tentang apa saja.

Inilah kita, yang masih saja berjejalan di dalam bus kota. Seribu wajah dalam kecemasan yang sama, ingin segera sampai di tempat singgah. Sebut saja rumah. Ada banyak pengharapan hadir di sana. Hati yang tak lagi lelah, percakapan ringan, suara anak-anak yang tertawa renyah dan suara adzan yang menggetarkan.

Inilah kita, yang bertahan dalam langkah. Seribu cita-cita yang dirangkum untuk sebuah senyum. Karena ada yang berbahagia, ada yang menemukan jalan keluar, ada yang menemui yang ingin dijumpai, hingga ada yang menangis karena tak ada lagi cara yang cukup untuk perasaan gembira.

Inilah kita, dalam satu garis yang sama.

Untuk Pengantin

- Kado pernikahan Fu dan Canun



Kata-kata menyempurnakan dirinya menjadi kalimat
: puisi cinta.

Pada kesederhanaan hati semua bermula. Sebuah ruang yang akhirnya memiliki penghuninya sendiri.

Selamat pagi, pengantin.
Ada embun dan ranting-ranting basah yg turut mendoakan, semoga keberkahan melimpah di setiap langkah. Dari hari ketika kalian memilih jalan sama yg searah, hingga kalian tak lagi mengenali apakah waktu masih menyertai dunia ataukah musnah.

Selamat siang, pengantin.
Semoga kalian tak lekas lelah ketika terik memenuhi hari. Kami berharap, kisah yg kalian tuliskan adalah tentang sepasang sayap yg tetap gagah mengepak.

Selamat malam, pengantin.
Datangnya gelap akan menutupi benda dari pandangan mata. Begitu pun dengan kalian, akan menjadi penjaga rahasia satu sama lain.

Selamat bagi kalian, pengantin.
Selamat menikmati cinta.
Semoga kelak lahir kebaikan-kebaikan dari keduanya dan bahagia selamanya.



Dari kami,
Henny Hasan
Hesty Wahyuningsih

Kembali Tentang Luka

Rasanya masih perih mengingat semuanya. Ingin menangis, tentunya. Tapi seperti tak perlu.

Maka saya membuka kembali ingatan lama yg sedikitnya menghibur. Bahwa menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi secara kebetulan. Kemudian mengais-ngais pelajaran dengan sisa tenaga.

Barangkali saya hanya lelah dan membutuhkan gemericik air di pegunungan. Duduk di sebuah batu besar di pinggir kali dan memandang kesibukan di dalam air; mereka yg sibuk berenang kesana-kemari.

Atau, mungkinkah seperti ini rasanya luka yg hendak sembuh? Kembali terasa nyeri.

Duhai hati, tolong bersabarlah. Untuk hidup yg telah membukakan matamu atas banyak hal.

Antara Kita

Tersadar dari sesuatu yang terlupakan, adalah menemukan kembali jalan yang semestinya ditempuh.

Berbagai isyarat yang berebut muncul, mungkin tidak akan segera dimengerti. Ini sejenis doa-doa yang kita panjatkan ketika mengantar jenazah pulang ke tempat sebenarnya. Kita sungguh belum mengerti, diakah yang kita antar? Atau dia yang mengantar kita, memberi pengertian tentang jalan pulang.

Di antara kita, siapa yang akan lebih dekat dengan hidup? Apakah yang lebih dekat dengan udara yang menggigil pada setiap puncak malam? Apakah pada semua yang bertumbuh dan semakin jauh meninggalkan keabadian? Apakah pada hati yang tak pernah terpejam?

Di antara kita, siapakah yang akan lebih mengerti?

Senyum Matahari

Kita yang melepaskan sesuatu dalam genggaman, kemudian menyerahkannya kepada matahari, mungkin pada awalnya seperti berusaha hidup tanpa hati. Mematikan rasa mungkin akan ditempuh, jika memang semua jalan tertutup. Lampu-lampu dipadamkan, pintu-pintu dikunci rapat, bulan terbenam dan bintang-bintang diturunkan dari gantungan.

Inikah yang disebut kesedihan, Ibu? Ada yang siap jatuh, menetes dari sudut mata ketika kita di dalam ruang pengap, terkunci dan tanpa cahaya. Diam-diam, kegelapan kita telusuri. Mengalir dari hulu menuju muaranya yang entah. Hanyut tanpa arus, hilang tanpa sebab.

Padahal, yang terjadi bukan semata-mata membuat sengsara.  Ini hanya akan membantu kita memahami, bahwa ada waktunya kebahagiaan dapat kita sambut dengan cara lain; memadamkan lampu, bulan dan bintang, kemudian menyalakan matahari. Seperti halnya Tuhan memberikan pelajaran, ketika Dia menggulirkan siang-malam.

Kita mencoba mengerti, memilih bahagia dengan senyum matahari.

Rabu, 28 Maret 2012

Kepada Tuhan

Beranjak malam, Tuhan. Maka aku menyalakan lampu ruang tengah, lampu ruang tamu, lampu jalan, juga lampu kamar. Sedang hatiku biar gelap dulu, untuk merasakan sepi yang buncah.

Bukan masalah sementara ada di kegelapan, Tuhan. Asal Kau rela. Aku masih ingin belajar. Setelah kehilangan matahari, apakah purnama yang sebenarnya?

Rabu, 29 Februari 2012

Tentang Luka

Mungkin saya serupa kanak-kanak yang dua puluh tahun lalu bermain kayu-kayu kecil yang patah  karena lapuk dimakan musim. Ada beberapa yang tajam, yang tidak sengaja menusuk jari-jari yang ketika itu kulitnya masih tipis dan rapuh. Yang saya ingat, tidak ada perih. Hanya tangan kecil berdarah-darah. Yang saya ingat, saya tidak takut. Hanya heran mengapa luka yang tidak seberapa menganga, tapi mengucurkan darah yang tidak juga berhenti.

Mungkin ini hanya tentang luka. Tidak berbahaya, sepertinya. Sampai beberapa jam kemudian baru terasa perih ketika ibu meneteskan cairan berwarna coklat. Agar lekas mengering, kata ibu. Dan kemudian tidak ada lagi yang tahu tentang luka itu selain ibu. Saya simpan rapat-rapat perih dan ngilunya hingga beberapa hari.

Ibu, sekarang ini saya kembali terluka. Bukan di tubuh, tapi di hati. Peristiwanya persis seperti dua puluh tahun lalu, ketika saya bermain kayu-kayu patah. Tidak mengerti bagaimana mulanya luka itu menganga, tiba-tiba terasa ngilu dan perih.

Tetapi, tidak mengapa, ibu.. Ini hanya luka.Akan saya simpan saja, sendiri.
Akan menyembuh, pasti.