Entah sejak kapan, aku mempunyai kebiasaan mengunyah roti sisir
jika merindukanmu. Bisa jadi karena dulu kau sering menikmati senja
dengan roti sisir dan segelas kopi pekat tanpa merk. Benar-benar kopi
yang wangi dan pekatnya sangat kopi, bukan seperti kopi dengan
bermacam-macam judul tapi pudar. Tentu saja aku tidak minum kopi itu.
Tapi aku turut mengunyah roti sisir yang manis dan gurih. Semanis dirimu
dan segurih cerita yang kau kisahkan.
Sore ini pun aku
mengunyah roti sisir, karena tiba-tiba merindukanmu. Kau tahu? Aku sudah
25 tahun. Bukan lagi bocah berkepang dua yang berkeliaran di kebun,
sawah dan sungai. Tapi berlalunya waktu tidak juga mengusir kangen yang
bisa sewaktu-waktu menghampiri. Kau sendiri telah lama pergi, entah ke
tempat seperti apa. Aku hanya bisa memohon kepada Tuhan, bahwa tempatmu
saat ini menyenangkan dan kau bahagia di sana.
Sore ini, entah
mengapa roti sisir yang aku kunyah ini hilang gurih dan manisnya.
Seperti busa untuk cuci piring. Semakin dikunyah, semakin yakin tidak
ada rasa. Hambar. Yang lebih penting, aku bisa bernostalgia denganmu
senja ini, meskipun tanpa kehadiran sebenarnya.
Kemudian sebuah
doa kubungkus rapi. Kutuliskan namamu di sampulnya. Juga sebuah kalimat
penutup singkat, tapi dengan menuliskannya saja sudah cukup untuk
membuat genangan air di mata.
; salam kangen selalu, dari cucumu (dan ada tanda kecup di sana).