Rabu, 30 Januari 2013

Roti Sisir

Entah sejak kapan, aku mempunyai kebiasaan mengunyah roti sisir jika merindukanmu. Bisa jadi karena dulu kau sering menikmati senja dengan roti sisir dan segelas kopi pekat tanpa merk. Benar-benar kopi yang wangi dan pekatnya sangat kopi, bukan seperti kopi dengan bermacam-macam judul tapi pudar. Tentu saja aku tidak minum kopi itu. Tapi aku turut mengunyah roti sisir yang manis dan gurih. Semanis dirimu dan segurih cerita yang kau kisahkan.

Sore ini pun aku mengunyah roti sisir, karena tiba-tiba merindukanmu. Kau tahu? Aku sudah 25 tahun. Bukan lagi bocah berkepang dua yang berkeliaran di kebun, sawah dan sungai. Tapi berlalunya waktu tidak juga mengusir kangen yang bisa sewaktu-waktu menghampiri. Kau sendiri telah lama pergi, entah ke tempat seperti apa. Aku hanya bisa memohon kepada Tuhan, bahwa tempatmu saat ini menyenangkan dan kau bahagia di sana.

Sore ini, entah mengapa roti sisir yang aku kunyah ini hilang gurih dan manisnya. Seperti busa untuk cuci piring. Semakin dikunyah, semakin yakin tidak ada rasa. Hambar. Yang lebih penting, aku bisa bernostalgia denganmu senja ini, meskipun tanpa kehadiran sebenarnya.

Kemudian sebuah doa kubungkus rapi. Kutuliskan namamu di sampulnya. Juga sebuah kalimat penutup singkat, tapi dengan menuliskannya saja sudah cukup untuk membuat genangan air di mata.
; salam kangen selalu, dari cucumu (dan ada tanda kecup di sana).