Sabtu, 13 Desember 2014

Selamat Ulang Tahun, Desember

Selamat pagi, Mas.
Setiap kali bangun tidur, aku berharap ada seseorang di samping, yang ingin aku pandangi dalam lelapnya. Tapi tidak mengapa, aku akan punya waktu untuk itu.

Kecup dan peluk dari kami untukmu, Mas. Tempat kami segar, hujan telah menjadi penghapus kerontang. Percakapan kami sudah semakin jauh. Dari menanyakan kabar setiap pagi, mengaji bersama, berjalan santai, hingga percakapan sebelum tidur. Dia tiba-tiba telah mengerti banyak hal, ketika Tuhan meniupkan ruhnya dan menganugerahkan pendengaran. Bagaimana tempatmu di sana, Mas? Apakah masih dingin? Apa kau masih bercakap-cakap dengan kesibukan yang tiada habisnya? Apakah kau cukup istirahat dan makan?

Salam kangen juga dari kami. Kangen yang entah tiada habisnya. Jangankan untuk waktu sekian bulan, melepasmu bepergian sehari saja membuat sebuah kamar di hati kami menjadi kosong. Lengang. Tapi sekali lagi tidak mengapa, kita akan ada waktu untuk kembali bersama. Atas ijin Tuhan, tentunya.

Ada banyak hal yang dapat kami lakukan dalam rentang waktu merindukanmu. Doa keselamatan, perlindungan, keberkahan dan banyak lagi doa-doa kami bisikkan. Lirih. Pengharapan yang penuh kami sandarkan kepada Tuhan yang teramat dekat, Yang Maha Mendengar dan Kasih.

Begitu juga hari ini, Mas. Doa-doa kami bisikkan, semoga Allah kabulkan.
Selamat ulang tahun, Mas. Semoga selalu dalam keberkahan yang berlimpah, panjang umur dalam kebaikan.

Kecup dan peluk dari kami.
Selamat ulang tahun, Desember.
:*

Rabu, 12 November 2014

Hidup yang Tak Biasa

Kita bisa berbincang agak panjang sore itu. Dengan keletihan dan air mata yang tidak mampu disembunyikan. "Kenapa?", kau selalu saja bertanya pendek untuk mendengar lebih lama. Sementara aku sedang tak ingin bercerita apa-apa. Menggelengkan kepala, lantas kembali mengusap air mata.

Perlahan-lahan aku mengumpulkan kata, tanpa menatapmu. "Aku ingin menjalani hidup normal seperti yang lainnya", antara setengah kesal dan setengah lagi putus asa. Aku memulai percakapan juga.

"Normal itu yang seperti apa?", ini pertanyaan paling menyebalkan yang pernah aku dengar. Bagaimana mungkin kau tidak tahu bagaimana kebanyakan orang menjalani hidup? Mereka berjalan dengan ritme yang sama dan mudah dibaca.

"Berkumpul dengan pasangannya, tidak berjauhan. Bercakap-cakap setiap hari, bergandengan tangan di waktu santai, berpelukan melepas penat, menumpahkan kangen setiap saat, bahu membahu membesarkan anak-anak, dan banyak hal lagi", kalimat sepanjang itu bisa aku susun ketika terisak. Entahlah. Mungkin karena sudah lama sekali ingin dikatakan.

"Normal itu, tergantung siapa yang memandang. Bisa jadi beda ketika kita yang menyusun ulang pengertiannya. Kita akan hidup dengan cara yang berbeda. Percayalah, kita tengah meraup keberkahan di dalamnya. Berapa banyak kerelaan dari orang tua kita, doa-doa mereka dan belimpah kemudahan bagi kita menjalani semuanya. Tidak akan mudah, tapi beginilah cara yang akan kita tempuh. Kira-kira, begitulah pengertian normal menurut kita". Kau juga mengucapkan semua itu dengan berkaca-kaca. Tangan kita masih bergenggaman, ingin melewatkan senja di bandara dengan hati yang lebih dekat.

Rabu, 22 Oktober 2014

Kisah

Perjalanan yang tidak seberapa ini, mungkin sudah cukup membuat kita lelah. Ingin istirahat sejenak untuk mengatur nafas, atau sekedar memandangi jalan yang telah dilalui. Ada banyak hal yang membuat kita tak henti-hentinya memuji Tuhan. Bersyukur.

Kaki yang entah sekuat apa, hati yang setabah apa, kita tidak tahu pasti. Aku sendiri hanya ingin bergembira menjalaninya. Tak henti-henti tertawa seperti kanak-kanak menikmati tempat-tempat baru yang menyenangkan. Jika kau dekat, mari rayakan kebersamaan. Jika berjarak, mari rayakan rindu. Anggaplah semua itu seperti musim. Bulan ini kemarau, bulan depan penghujan. Bergantian.

Kau sendiri telah menggenggam pemahaman-pemahaman yang mulia. Apa lagi yang harus aku khawatirkan? Maka jadilah purnama di rumah ini. Rumah yang telah kau kokohkan dengan janji di hadapan Tuhan, ketika tanganmu tergenggam. Janji yang membuat kita memulai sebuah kisah.


Minggu, 14 September 2014

Minggu ke Tiga

Selamat pagi.
Semoga keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan terlimpah.

Memasuki minggu ke tiga, rasanya sudah seperti tiga tahun saja. Semuanya memang relatif. Masa menunggu dengan penuh rindu membuat dimensi waktu memanjang dan dimensi ruang menyempit. Namun menyempitnya ruang tidak berarti membuat kita berhenti membaca jarak. Sudah tidak terhitung kekhawatiran yang selalu diiringi doa keselamatan dipanjatkan. Berharap semuanya dalam keadaan baik.

Minggu ke tiga ini juga menjadi minggu ke tujuh. Nanti, akan ada jantung lain yang berdenyut dalam diriku. Akan ada paru lain yang berkembang. Kita telah mengirinya dengan segenap kebaikan yang bisa diusahakan. Mencintainya sebelum dia hadir. Bersyukur atas setiap perubahan yang terjadi. Dan aku, berbahagia menahan mual sepanjang hari.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Itu dulu pertanyaan pertamamu untukku. Sekarang, ingin aku minta menjadi pertanyaanku padamu. Bertanya tentang rasa, tentu itu bagian yang sangat halus dari sanubari. Kita akan perlahan-lahan menyusuri jalannya rasa itu. Jika naik, akan ada kaki yang lebih kuat menapakinya. Jika turun, kita berlarian lepas. Jika berupa padang, akan kita jatuhkan pandangan jauh-jauh, mencari batas sebuah rentang.

Entah berapa minggu lagi akan kita lalui dalam jarak. Kita tak pernah tahu tentang itu. Yang kita tahu, Tuhan telah menghamparkannya untuk dilipat kembali. Menautkan tangan yang berjauhan.

Tuhan yang membentangkan, Tuhan pula yang menguatkan. Dan seribu lampu di hati kita telah dinyalakan.

Sabtu, 24 Mei 2014

Anak Perempuan

"Seorang anak perempuan akan menggenggam tanganmu ketika dia kecil, tapi dia akan menggenggam hatimu selamanya."

Entah kapan dan bersumber dari mana, sepertinya saya pernah membaca kalimat itu. Kalimat yang ditujukan kepada para ayah, yang diam-diam saya setujui setelah menyusuri segenap sudut hati.

Sungguh, kalimat itu sepenuhnya benar, setidaknya menurut saya. Seorang anak perempuan yang berwujud putri kecil akan sangat bahagia menggenggam tangan ayahnya. Keriangan yang tidak terperi. Kadang hatinya meloncat lebih tinggi dari jingkrak langkahnya ketika merasa berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Seorang ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Ketika bersama ayahnya, suasana hatinya lebih indah dari pagi dengan semburat kekuningan yang dilengkapi rekahan kuncup dan gayutan embun. Jika anak itu sudah diajarkan tentang surga, dia akan membayangkan sebahagia itulah berada di surga.

Perlahan raga dan jiwanya bertumbuh. Beberapa tanggung jawab dia ambil. Harinya semakin sibuk. Kau,  ayah, mulai merasa ada kekhawatiran dan jarak. Kau kehilangan keinginanmu untuk tidur ketika teman-teman seusianya terlihat mulai memikat dan terpikat lawan jenisnya, walaupun hal yang demikian tidak terlintas di benaknya. Pikiranmu kacau ketika ada pesan singkat dari laki-laki, meskipun hanya sekedar urusan kuliah atau pekerjaan. Kau sudah terburu-buru menyimpulkan, tanpa membaca apa isinya. Cemburu kah itu, Ayah? Kemudian kau merasa tidak mengenalnya lagi. Mengabaikan penjelasannya, bahkan mendiamkannya sekian waktu.

Tanpa kau tahu, dia merelakan apapun yang sanggup dia berikan untukmu. Dia patuh ketika kau melarang berteman dengan dengan laki-laki. Teman-temannya memang sibuk bercerita tentang bagaimana seharian dia ngobrol dengan pacarnya, mendapat perhatian, diajak jalan-jalan dan segala hal yang menarik bagi anak muda. Tapi dia tidak menginginkan itu. Kau kan sudah tahu, siapa cinta pertamanya. Jadi dia merasa tidak perlu sibuk dengan apa yang diperbincangkan teman-temannya. Kalaupun suatu saat dia akan jatuh cinta, dia akan menurut pada seleramu yang kau ceritakan dalam nasihat yang kau ulang-ulang selama belasan tahun; laki-laki yang senantiasa mengingat Tuhan dan negeri akhirat, halus budi, bertanggungjawab dan siap menjadi tulang, punggung dan jantung bagi istri dan anak-anaknya.

Entah kau sadari atau tidak, dia selalu saja memikirkan apa yang kau butuhkan ketika memasuki sebuah pertokoan. Sereal gandum, pereda nyeri topikal, masker, madu atau hal remeh temeh lain yang kau sendiri baru sadar menyukai selera barang-barang yang dipilihnya. Setiap kali uangnya sedikit berlebih, yang dia pikirkan adalah menyerahkan semuanya padamu. Kalau-kalau kau membutuhkan tambahan untuk sekedar beberapa rencana yang tak pernah kau bicarakan matang dengannya. Dia hanya yakin, yang ada dibenakmu adalah bagaimana agar anak-anaknya hidup lebih mudah, meskipun cara itu seringkali belum sesuai dengan keadaannya. Dalam kehidupannya, ada arah yang benar-benar ingin dia putuskan sendiri. Dia juga sepertimu, manusia yang menjalani pilihan-pilihan.
 
Suatu hari nanti, mungkin ada seseorang yang menghadap untuk meminta putrimu, Ayah. Membawanya untuk bertumbuh bersama, menjadi pribadi yang lebih baik. Kau tidak perlu terlalu cemas, kan kau sudah menjadi cinta pertamanya. Kau akan selalu ada dalam doa-doa terbaiknya. Dia masih akan sempat untuk sekedar membetulkan kemejamu yang agak berantakan. Setiap memandang wajahmu, hatinya masih seperti kanak-kanak. Berjingkrak-jingkrak saking bahagianya, ketika keadaanmu selalu sehat dan bahagia. Jika ada sedikit saja nyeri yang mengganggumu, dia masih akan risau seperti biasanya. Dia akan selalu menggenggam hatimu.

Percayalah padaku, para Ayah dan para calon Ayah, bahwa seorang anak perempuan akan menggenggam tanganmu ketika dia kecil, tapi dia akan menggenggam hatimu selamanya.


Minggu, 02 Februari 2014

Doa Hari Senin (Imam Ali Zainal Abidin)

Segala puji bagi Allah, yang mencipta langit dan bumi tanpa seorang saksi, yang menggelar makhluk tanpa seorang pembantu
Tiada sekutu dalam Ilahiyat-Nya, tidak ada setara dalam ketunggalan-Nya
Kelu lidah mengungkap sifat-Nya
Lemah akal memikirkan makrifat-Nya
Merendah segala penguasa karena kehebatan-Nya
Rebah segala wajah karena takut pada-Nya
Jatuh segala yang agung karena keagungan-Nya
Bagi-Mu segala puja-puja yang beruntun tak putus-putus
Shalawat dan salam bagi Rasul-Nya, salam yang kekal abadi

Ya Allah, jadikanlah permulaan hari ini kebaikan, pertengahannya kejayaan, dan pamungkasnya keuntungan
Aku berlindung pada-Mu dari hari yang permulaannya ketakutan, pertengahannya kecemasan, dan pamungkasnya kesedihan
Ya Allah, aku mohonkan ampun pada-Mu atas segala nazar yang kunazarkan, atas segala janji yang kujanjikan, atas segala akad yang kuakadkan, kemudian tak kupenuhi pada-Mu
Aku bermohon padaMu perihal ulahku menzalimi hamba-Mu
Bila ada hambaMu, pria dan wanita,
yang teraniaya karena kezalimanku pada diri dan kehormatannya, pada hartanya,
pada ahli dan keturunannya. Atau yang kugunjingkan kejelekannya, atau
yang kusengsarakan karena hawa nafsu, penghinaan, kesombongan, riya dan kesukuan,
yang hadir dan yang raib, yang hidup dan yang mati
Lalu lemah tanganku, sempit tenagaku, untuk mengembalikan haknya, dan meminta kerelaannya.
Karena itu, aku mohonkan pada-Mu wahai Yang Menguasai segala hajat
hajat yang terpanggil karena kehendak-Nya
hajat yang bergegas memenuhi iradat-Nya
Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
Ridhakan dia padaku dengan apa yang Kau kehendaki
Berikan padaku dari sisi-Mu rakhmat
Ampunan tidak akan mengurangi keagungan-Mu,
Anugerah tidak akan meyusutkan kebesaran-Mu,
Wahai Yang Maha Kasih dari segala yang mengasihi
Ya Allah, berilah aku pada hari Senin ini dua kenikmatan:
Pada permulaannya: kebahagiaan menaati-Mu, Pada pamungkasnya: kenikmatan akan ampunan-Mu,
Wahai Dia Yang menjadi satu-satunya Tuhan. Selain Dia tiada yang dapat memberikan ampunan.


Sabtu, 18 Januari 2014

Merawat Kenangan

Rumah tua yang sepi, penghujan dan kenangan. Kami kemas semuanya dalam sebuah ziarah yang dilakukan diam-diam. Mengunjungi relung yang sebenarnya tidak pernah kami tinggalkan, tapi tiba-tiba saja menjelma sunyi. Percakapannya telah tergantikan riuh kesibukan yang sebenarnya membuat semakin menggigil. Kemudian kami mencari-cari kalimat yang dapat mencairkan gumpalan rindu.

Dulu, ada bunga jambu luruh. Ada percakapan akrab, hangatnya udara di sekitar tungku dan bau kopi. Wangi. Kau yang merangkul hati kami dengan tangan yang sampai sekarang masih terasa kasihnya. Jika kami laron, mungkin kau adalah cahaya kecil yang membuat kami rela berdesakan, menjadi sebuah pusaran. Jam tua yang bunyinya semakin usang tidak mampu mengingatkan kami bahwa akan ada masanya semuanya menjadi surut.

Pusaran itu perlahan terurai. Satu per satu pergi, menempuh jalan masing-masing. Bekerja, berkeluarga, mempunyai beberapa anak, sesekali mengunjungi dengan rindu yang mendesak-desak. Pergantian peran itu sudah semestinya terjadi. Yang tadinya anak, kini menjadi bapak dan ibu yang mempunyai anak juga. Tapi kau adalah cinta pertama kami. Semakin jauh perjalanan, semakin kami mengerti bahwa ada sebuah bilik di dalam hati yang penghuninya hanya dirimu. Hanya ada kau.

Mungkin karena itulah bapak tak juga beranjak dari sana. Menyempatkan satu atau dua jamnya dihabiskan di bangku tua itu, di rumah tua yang sering kami kunjungi diam-diam dalam ingatan. Mengganti lampu-lampu yang meredup, merawat kehangatan yang pernah ada di sini. Sendirian.